Jumat, 15 Februari 2013


IMAM SYAFI'I


Imam Syafi’I Pembela Ahlussunnah Wal Jamaah

Kelahiran 

Beliau dilahirkan pada tahun 150 H, Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin
‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya.
Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana.
Syafi‘i, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i), menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, Ayah Syafi‘i, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah SAW. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Mencari Ilmu dan Dakwah

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulisan begitu juga tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya.
Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji(mufti kota Mekkah), dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah (ahli hadits Mekkah), Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain.
Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al- Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya.
Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179 H. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Keutamaan dan Karamah

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan.
Satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah.
Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus.
Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyasyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasyasyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka.
Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka.
Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan (ahli fiqih Irak), beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidak-benaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun Ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal.
Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhabAsh-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-Habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198 H, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al- Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh( yang selama ini dipegangnya), di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan keterbatasan.

Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka. Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Hasil Karya dan Karangan-Karangannya

Beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an- Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.


Tausiyah dan Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah Wa al-Hadits.

Terdapat banyak atsar tentang ketidak-sukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka.
Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.”
Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya Imam Syafi’i
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”

Sumber:
1. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-
Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql
2. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
3. Siyar A‘lam an-Nubala’

IMAM GHOZALI
( Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali )



Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Gelarnya adalah Hujjatul Islam Zainudin Ath-Thusi. Ketika kaum muslimin tengah di landa keraguan dan saling curiga ,pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1057 M di desa Ghazalah kota Thus, Iran,lahirnya seorang anak yang dikemudian hari akan tumbuh menjadi seorang iman besar yang dapat menautkan kembali segala perpecahan diantara umat Islam dan mempersatukan mereka. Dialah Al-Ghazali.
Seorang hamba pilihan yang merupakan salah satu bagian dari kebajikan yang di hamparkan Allah SWT di muka bumi ini. Ia ibarat sebuah pelita yang menerangi dunia islam yang saat itu mulai pudar. Dengan semakin berkembangnya cara berpikir manusia, umat islam menjadi terpecah belah dan dalam agama islam berkembang berbagai macam aliran. Melalui Imam Ghazali Allah SWT menyatukan lagi umat islam dalam satu wadah kepercayaan mutlak terhadap sang Maha Pencipta.
Beliau mendapat nama sebutan Al-Ghazali sesuai dengan nama tempat kelahirannya yaitu Ghazalah. Ia lahir di tengah keluarga yang taat beragama. Ayahnya seorang shalih dan senang bersedekah. Ia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri. Mata pencahariannya adalah memintal bulu domba dan menjualnya di toko.
Ketika merasakan ajalnya telah dekat. Ia menitipkan kedua anaknya al-Ghazali dan adiknya, Ahmad kepada sahabat karibnya, seorang sufi yang dermawan. Ia berkata kepada sahabat karibnya, “saya sungguh menyesal sekali atas banyaknya ilmu yang belum aku pelajari. Oleh karena itu aku ingin kedua anakku memperoleh apa yang dulu tidak kudapatkan. Jadi ajarilah mereka dan engkau boleh menggunakan semua peninggalanku untuk mereka.”
”Ketika ia meninggal dunia, sahabat karibnya mulai mengajari kedua anaknya dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya habislah peninggalan orang tua kedua anak itu yang memang dikit jumlahnya. Dan ia kesulitan untuk membiayai mereka atau memberikan kebutuhan makan mereka, “ Ketahuilah, aku telah menafkahkan untuk kalian apa yang telah menjadi milik kalian. Oleh karena itu, masuklah kesebuah madrasah karena kalian termasuk para penuntut ilmu. Dengan cara itu kalian akan meperoleh bekal yang dapat mencukupi kebutuhan kalian”.
Mereka berdua menuruti nasehat itu dan masuklah mereka di madrasah yang memang menyediakan beasiswa bagi para penuntut ilmu yang tidak mampu. Atas hal itu Al-Ghazali menuturkan,” Kami pernah mencari ilmu tidak karena Allah, tetapi ilmu itu malah mendorong kami untuk belajar karena Allah”.
Ayah Al-Ghazali sering menemui para ulama dan berkumpul bersama mereka berkhidmad dan memberikan infaq kepada mereka semampunya. Apabila ia mendengar ucapan mereka ia menangis dan menunduk. Ia memohon kepada Allah agar di beri anak yang sholeh dan menjadi alim seperti mereka. Akhirnya Allah mengabulkan doanya . Kedua anaknya menjadi ulama yang shalih yang mengamalkan amalnya dengan istiqomah. Al-Ghazali terkenal paling cerdas di antara kawan-kawannya dan pemuka para ulama sezamannya. Sementara adiknya yang Ahmad adalah seoarang penceramah yang ikhlas. Bebatuan seakan menjadi lunak ketika mendengar peringatannya dan para hadirin pun khusyu’ dan menangis di majelis dzikirnya.

Mencari Ilmu dan Dakwah
Pada masa kecilnya Al-Ghazali belajar fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radzkani, seorang ulama besar di dusun kelahirannya. Pada masa-masa belajarnya itu ia pergunakan waktu dengan sebaik-baiknya, berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai semua materi pelajarannya, ia mencatat semua ucapan gurunya.
Kemudian setelah ia menguasai banyak ilmu dari gurunya, ia pergi ke Jurjan untuk belajar kepada ulama besar yang bernama Abu Nashr Ismail. Lalu ia melanjutkan pengembaraannya ke Naisabur. Di situ ia mempelajari banyak cabang ilmu dari seorang ulama tersohor dengan julukan Imam Al-Haramain yaitu Abdul Ma’ali Al-Juwaini. Ia belajar dengan sungguh –sungguh hingga menguasai seluk beluk madzhab, Ikhtilaf, perdebatan dan logika. Di sana dia juga belajar tasawwuf kepada Syaikh Abu Ali Al Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali Farmadi. Ia pun mempelajari mantik dan filsafat serta menguasai pendapat para pakar dalam bidang ilmu-ilmu tersebut, sehingga ia dapat menentang dan menyanggah pendapat-pendapat mereka yang mempengaruhi masyarakat Islam.

Keutamaan dan Karamah
Pada suatu hari ketika ia keluar dengan tujuan memperdalam ilmu agamanya pada seorang ulama di luar jam pelajaran, tiba-tiba muncullah beberapa perampok bersenjata tajam menghentikan langkah Al-Ghazali. Dengan kasar salah seorang perampok merebut bungkusan yang di bawa Al-Ghazali. Maka berhamburkanlah isi bungkusan tersebut yang tak lain adalah kitab-kitab pelajaran dan buku-buku catatannya. Para perampok itu heran, mereka mengira bungkusan tersebut berisi uang dan pakaian.
“Hai anak muda, hanya inikah kepunyaanmu? ”Tanya kepala perampok. “Bagaimana menurutmu seandainya semua buku pelajaranmu ini ku ambil? maka sudah pasti kamu menjadi orang bodoh. Karena kamu masih mengandalkan buku dan catatan. Pelajaran seharusnya di simpan di kepala bukan di dalam buku,” lanjutnya. Kemudian para perampok itu pergi meninggalkan Al-Ghazali yang sedang memunguti
kitab-kitab dan buku catatannya sambil merenungi cemoohan kepala perampok tersebut. Ia sadar bahwa selama ini ia lebih mengandalkan buku dan catatan dari pada hafalan. Semua ucapan perampok tersebut yang nadanya mencemooh bagi Al-Ghazali justru merupakan nasehat penting dan hikmah serta berkah yang tak ternilai harganya.
Sejak peristiwa itu Al-Ghazali semakin rajin menghafal. Satu persatu pelajaran yang asalnya merupakan tulisan kini telah pindah dan tertanam dalam otak dan hati sanubari Al-Ghazali.
Di Naisabur intelektualitas Al-Ghazali mulai bersinar ia tidak hanya berguru, tapi juga mulai mengajar dan aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan susunan dan metode yang sangat bagus. Setelah gurunya imam Al Haramain wafat, ia meninggalkan Naisabur menuju Al-Askar dan bertemu dengan perdana menteri Nidzham Al-Malik. Disitu ia sering berdiskusi dengan ulama-ulama terkemuka di dalam majelis. Mereka mengagumi pendapat-pendapatnya dan mengakui keutamaannya. Para ulama selalu menyambutnya dengan ta’dzhim. Pada tahun 484 H/1068 M, ia dipercaya untuk mengajar di perguruan tinggi An-Nidzhomiyah di Baghdad. Inilah yang mengantarkannya kepada kedudukan mulia. Ia didatangi banyak orang di majelisnya, didengar ucapannya, dan dihormati, sehingga ia dapat mengalahkan kemuliaan para pemimpin dan perdana menteri.
Semua orang ta’jub akan keindahan tutur katanya, kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya dan keakuratan isyaratnya. Ia mengkaji ilmu dan menyebarkannya melalui pengajaran, pemberian fatwa, dan menulis. Ia memiliki kedudukan mulia dan menduduki posisi yang tinggi, sehingga dikatakan bahwa majelis Imam Al-Ghazali konon dihadiri 300 ulama besar.
Ucapannya didengar dimana-mana, ia terkenal namanya. Ia menjadi teladan dan mereka mencintainya. Namun Al-Ghazali mengabaikan semua penghormatan itu karena khawatir dirinya tidak ikhlas karena Allah. Ia merasakan kegelisahan didalam jiwanya. Kesenangan hidup yang melimpah malah membuatnya sakit, dirinya terombang –ambing mencari kebenaran yang hakiki dan kebahagiaan yang abadi. Guncangan jiwa itu dimulai ketika nalarnya bertanya-tanya, apakah sebenarnya ilmu yang hakiki itu, apakah dapat dicapai dengan panca indra atau dengan akal? Untuk mengedepankan gejolak hatinya, Al-Ghazali sempat menghentikan seluruh aktifitasnya. Sampai akhirnya cahaya Allah menerangi hati, jiwa dan raganya, sehingga ia mampu keluar dari keraguan. Tasawuf itulah jalan baru yang dianggapnya tepat untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mengusik hatinya seperti yang ditulis pada kitabnya Ihya Ulumuddin.

Perjalanan Spiritual
Kemudian ia meninggalkan Baghdad dengan segala kemewaham dan ketenarannya menuju Damaskus, Syiria, untuk menemukan ketenangan dan kesejatian hidup. Ia menjalani kehidupan zuhud, riyadhat, mujahadah, membersihkan diri dan menyucikan hati dengan dzikir kepada Allah SWT. Ia ber’itikaf memperbanyak ibadah di menara masjid Umawi. Tak lama kemudian ia hijrah ke Palestina sengaja hendak berkhalwat di Qubbatus Sakhrah. Bermunajat kepada Allah SWT, semua pintu kubah dikunci hingga tak ada satupun dapat mengganggunya. Kemudian ia berziarah ke Makam Nabi Ibrahim AS lalu menuju Hijaz untuk beribadah haji dan menziarahi makam Rasulullah SAW.
Selama di perjalanan itu, dirinya lebih menjauhi dunia, memakai pakaian seadanya, sedikit makan dan minum, memerangi hawa nafsunya, bermujahadah seperti yang dilakukan orang shalih terdahulu dan memperbanyak barbagai macam ibadah dan ketaatan. Ditengah-tengah itu ia mengarang kitab Ihya Ulumuddin sebagai hasil dari perenungannya, mujahadahnya dan berdzikirnya kepada Allah SWT. setelah itu ia pergi ke Iskandariyah, Mesir. Tidak lama kemudian ia diminta kembali memimpin perguruan An –Nidzomiyyah. Maka kembalilah ia ke Baghdad.Namun karena hatinya sudah penuh kecintaan kepada Allah dan menjauhi dunia, ia tidak betah tinggal lama di kota yang penuh gemerlap itu. Kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah sebagai lembaga untuk memperdalam ilmu agama khususnya tasawwuf. Ia membagi waktunya untuk menghatamkan Al-Quran, berdiskusi dengan ulama lain, memberi nasehat dan petunjuk pada orang lain sambil terus bermujahadah melaksanakan sholat sunnah, puasa dan ibadah lainya.

Wafatnya Imam Ghazali
Beliau wafat di kota Thus pada hari Senin, pada Jumadil Akhir 505 H/1111 M, pada usia 55 tahun. Abu Al-Faraj Al-Jauzi dalam kitabnya Ats-Tsabat’indal mamat, mengatakan bahwa adik Imam Al-Ghazali, Ahmad berkata, “ pada hari Senin subuh kakakku Al-Ghazali berwudhu dan sholat ,lalu berkata, ambilkan untukku kain kafan. Ia berkata “Aku mendengar dan aku taat untuk menemui Al-Malik.” Kemudian ia menjulurkan kakinya dan menghadap qiblat. Tak lama ia meninggal dunia menjelang matahari terbenam. Semoga Allah SWT menyucikan ruh beliau dan Semoga Allah SWT selalu meridhoinya dan memberi kita semua manfaat dengannya. Allahumma Amin.

ROBI'ATUL ADAWIYAH - WANITA-WANITA ISTIMEWA VII

Rabi'atul Adawiyah
Kelahiran

Sang ratu Cinta lahir dalam kemiskinan yang sangat, Tak ada kain untuk menyelimuti dirinya, Tak ada minyak setetespun untuk pemoles pusarnya, Tak ada lampu untuk menerangi kelahirannya, Ia adalah putri ke empat, Maka disebutlah Robi’ah. Sang ayah menekur sedih memikirkan hal ini, Mau pinjam ataupun minta, sudah menjadi pantangan bagi dirinya. Semuanya digantungkannya pada Alloh, Dalam kesedihan ia bermimpi, Bertemu sang Nabi yang menghibur hati, “Temuilah Gubernur Basrah, dan katakan, “Setiap malam engkau kirimkan sholawat 100 kali kepadaku, dan setiap malam Jum’at 400 kali, Kemarin adalah malam jum’at dan engkau lupa mengerjakannya.Sebagai penebus kelalaianmu itu, berikanlah kepada orang ini 400 dinar, Yang telah engkau peroleh dengan halal."Gubernurpun memberikan apa yang dikehendaki oleh Nabi,Ditambah dengan 2000 dinar bagi sedekah orang miskin, Cukuplah sudah untuk kebutuhan keluarga Robi’ah.Sampai keadaan berbicara lain, Bencana kelaparan melanda Basrah.Seorang penjahat menculik Robiah,Untuk kemudian dijual dipasar budak.Dengan harga 6 dirham, Majikan membelinya dan memberikannya tugas-tugas yang berat. Siang hari Robiah bekerja sambil berpuasa, Malam harinya dihabiskan untuk mujahadah dan muajahah dengan Rob-nya.Kedekatan beralih menuju ke aqroban,Keaqroban membawanya kepada kerinduan Dan kerinduan telah mengantarkannya pada cintanya pada Tuhannya.
“Aku adalah milikNya. Aku hidup dibawah naunganNya. Aku lepaskan segala sesuatu yang telah kuperoleh kepadaNya. Aku telah mengenalNya, sebab aku menghayati”
Satu malam yang dingin, Sang majikan merasakan kegelisahan dalam hatinya. Maka iapun berjalan kebelakang rumah, Memeriksa sekelilingnya, Memeriksa kunci-kunci rumahnya, Dan ketika ia sampai didekat gudang tempat Robi’ah tinggal, Kekagetannya membuat ia sendiri gugup, Lampu yang semula dipegangnya kini terlempar entah kemana.Bagaimana tidak, Ketika ia melongokkan kepalanya ke dalam ruang tempat robiah beristirahat, Ia sedang melihat robiah menjalankan sholat, Dan….. Dan di atasnya tampak cahaya yang terang benderang.Bukan lampu sebab cahaya itu tidak bergantung kepada suatu apapun. Keesokan harinya, Robi’ah dipanggil, Majikannya menyampaikan keinginannya. Ia membebaskan Robiah sebagai budak.Kini Robi’ah merdeka. Meski sang majikan berharap Robiah mau untuk tinggal dirumahnya, tapi ia memilih untuk pergi menjauhi masyarakat sekitar.Dan ia menemukan sebuah gua agak dipinggir desa. Tinggallah ia di sana. Suatu hari di musim semi, Robi’ah memasuki tempat tinggalnya, Kemudian ia melongok keluar sebab pelayannya berseru, “Ibu, keluarlah dan saksikanlah, apa yang telah dilakukan oleh sang Pencipta” “Lebih baik engkaulah yang masuk kemari”“dan saksikanlah sang Pencipta itu sendiri.Aku sedemikian asyik menatap sang Pencipta, sehingga apa peduliku lagi terhadap ciptaan-ciptaanNya ?” sahut Robiah dari dalam.Suatu malam sebab terlalu letih, ia tertidur. Seorang maling menyelusup masuk ke dalam rumahnya,Dan mencuri cadarnya. Tetapi, tak ditemuinya pintu keluar. Cadar diletakkan, pintu keluar terlihat. Cadar dibawa, pintu keluar tak terlihat lagi, Terdengarlah suara, “Hai manusia, tiada gunanya engkau mencoba-coba.Sudah bertahun-tahun Robi’ah mengabdi kepada Kami. Syaitan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling berani mencoba-coba untuk mengambil cadarnya. Pergilah dari sini. Jika seorang sahabat sedang tertidur, maka sang Sahabat bangun dan berjaga-jaga”
Ketika seorang sahabat mengantarkan seorang kaya yang ingin memberikan uang emasnya pada Robiah, Robiah berkata,“Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjahNya.Apakah Dia tidak akan menafkahi orang-orang yang mencintaiNya ? Sejak aku mengenalNya, aku telah berpaling dari manusia ciptaanNya. Aku tidak tahu apakah kekayaan seseorang itu halal atau tidak, Maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya ?Dimalam-malam hari yang sepi dan sunyi, Dalam kerinduannya dengan sang Maha Pencipta, Robiah bergumam sambil bersujud, “Ya Alloh, apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuhMu. Dan apapun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti,Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu, Karena Engkau sendiri cukuplah bagiku”“Ya Alloh, semua jerih payahku dan semua hasratku diantara kesenangan-kesenangan dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau. Dan diakhirat nanti, diantara segala kesenangan akhirat, Adalah berjumpa denganMu. Begitulah halnya dengan diriku, Seperti yang telah kukatakan.Kini berbuatlah seperti yang Engkau kehendaki”Rabi'atul Adawiyah merupakan salah seorang srikandi agung dalam Islam.Beliau terkenal dengan sifat wara' dan sentiasa menjadi rujukan golongan cerdik pandai karena beliau tidak pernah kehabisan hujjah.Ikutilah antara kisah-kisah teladan tentang beliau..
Karamah dan Keutamaan Robi'atul Adawiyah

Suatu malam yang sunyi sepi, di kala masyarakat sedang nyenyak tidur, seorang pencuri telah mencoba masuk ke dalam pondok Rabi'atul Adawiyah. Namun setelah mencari sesuatu sekeliling berkali-kali, dia tidak menemui sebuah benda berharga kecuali sebuah kendi untuk berwudu', itupun jelek. Lantas si pencuri tergesa-gesa untuk keluar dari pondok tersebut.
Tiba-tiba Rabi'atul Adawiyah menegur si pencuri tersebut, "Hei, jangan keluar sebelum kamu mengambil sesuatu dari rumahku ini." Si pencuri tersebut terperanjat karena dia menyangka tidak ada penghuni di pondok tersebut. Dia juga merasa heran karen baru kali ini dia menemui tuan rumah yang begitu baik hati seperti Rabi'tul Adawiyah.Kebiasaannya tuan rumah pasti akan menjerit meminta tolong apabila ada pencuri memasuki rumahnya, namun ini lain, "Silahkan ambil sesuatu." kata Rabiatul Adawiyah lagi kepada pencuri tersebut. "Tiada apa-apa yang boleh aku ambil dari rumah mu ini." kata si pencuri berterus-terang.
"Ambillah itu!" kata Rabi'atul Adawiyah sambil menunjuk pada kendi yang jelek tadi. "Ini hanyalah sebuah kendi jelek yang tidak berharga." Jawab si pencuri.
"Ambil kendi itu dan bawa ke bilik air. Kemudian kamu ambil wudhu' menggunakan kendi itu. Selepas itu solatlah 2 rakaat. Dengan demikian, engkau telah mengambil sesuatu yang sangat berharga daripada pondok jelekku ini." Balas Rabi'tul Adawiyah.
Mendengar kata-kata itu, si pencuri tadi berasa gementar. Hatinya yang selama ini keras, menjadi lembut seperti terpukau dengan kata-kata Rabi'tul Adawiyah itu. Lantas si pencuri mengamibl kendi jelek itu dan dibawa ke bilik air, lalu berwudhu' menggunakannya.Kemudian dia menunaikan solat 2 rakaat. Ternyata dia merasakan suatu kemanisan dan kelazatan dalam jiwanya yang tak pernah dirasa sebelum ini. Rabi'atul Adawiyah lantas berdoa, "Ya Allah, pencuriini telah mencoba masuk ke rumahku. Akan tetapi dia tidak menemui sebuah benda berharga untuk dicuri.Kemudian aku suruh dia berdiri dihadapan-Mu. Oleh itu janganlah Engkau halangi dia daripada memperolehnikmat dan rahmat-Mu."
Pada suatu hari, sekumpulan golongan cerdik pandai telah datang ke rumah Rabi'atul Adawiyah. Tujuan mereka tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menguji beliau dengan perbagai persoalan. Malah mereka telah mempersiapkan dengan satu persoalan yang menarik. Mereka menaruh keyakinan yang tinggi, karena selama ini Rabi'atul Adawiyah tidak pernah kekurangan hujah. "Wahai Rabi'atul Adawiyah, semua bentuk kebajikan yang tinggi-tinggi telah dianugerahkan oleh Allah kepada kaum lelaki, namun tidak kepada kaum wanita."Ketua rombongan itu memulai bicara."Buktinya?" Balas Rabi'atul Adawiyah.
"Buktinya ialah, mahkota kenabian dan Rasul telah dianugerahkan kepada kaum lelaki.Malah mahkota kebangsawanan juga dikurniakan kepada kaum lelaki.Paling penting, tidak ada seorang wanita pun yang telah diangkat menjadi Nabi atau Rasul, malah semuanya dari golongan lelaki." Jawab mereka pula dengan yakin.
"Memang betul pendapat tuan-tuan sekalian. Akan tetapi harus diingat bahwa sejahat-jahat pangkat ada pada kaum lelaki juga. Siapa yang mengagung-agungkan diri sendiri? Siapa yang begitu berani mendakwakan dirinya sebagai Tuhan? Dan siapa pula yang berkata :"Bukankah aku ini tuhanmu yang mulia?" Dengan tenang, Rabi'atul Adawiyah membalas hujah mereka sambil merujuk kepada Firaun dan Namrud.
Kemudian Rabi'atul Adawiyah menambah lagi, "Anggapan dan ucapan seperti itu tidak pernah keluar dari mulut seorang wanita. Malah semuanya dilakukan oleh kaum lelaki."
Suatu hari, Rabi'atul Adawiyah merlihat seorang sedang berjalan-jalan dengan kepalanya berbalut sambil meminta simpati dari orang banyak. Karena ingin tahu sebabnya orang itu berbuat demikian, Rabi'atul Adawiyah bertanya, "Wahai hamba Allah! Mengapa engkau membalut kepalamu begini rupa?" "Kepalaku sakit." Jawab orang itu dengan singkat."Sudah berapa lama?" Tanya Rabi'atul Adawiyah lagi."Sudah sekian hari." Jawabnya dengan tenang.Lantas Rabi'atul Adawiyah bertanya lagi,"Berapa usiamu sekarang?" Orang itu menjawab,"Sudah 30 tahun" "Bagaimana keadaanmu selama 30 tahun itu?" Tanyabeliau lagi."Alhamdulillah, sehat-sehat saja." Jawabnya."Apakah kamu memasang sesuatu tanda di badanmu bahwa kamu sehat selama ini?" Tanya Rabi'atul Adawiyah."Tidak." Jawab orang itu ragu-ragu."Masya Allah, selama 30 tahun Allah telah menyehatkan tubuh badanmu, tetapi kamu langsung tidak memasang sesuatu tanda untuk menunjukkan kamu sehat sebagaitanda bersyukur kepada Allah. Jika sebaliknya, pasti manusia akan bertanya kepada kamu sebabnya kamu sangat gembira. Apabila mereka mengetahui nikmat Allah kepadamu, diharapkan mereka akan bersyukur dan memuji Allah." Jelas Rabi'atul Adawiyah."Akan tetapi, kini apabila kamu mendapat sakit sedikit, kamu balut kepalamu dan kemudian pergi kesana sini bagi menunjukkan sakitmu dan kekasaran Allah terhadapmu kepada orang banyak Mengapa kamu berbuat hina seperti itu?" Sambung Rabi'atul Adawiyah lagi.Orang yang berbalut kepalanya itu hanya diam seribu bahasa dan tertunduk malu dengan perlakuannya. Kemudian dia segera meninggalkan Rabi'atul Adawiyah dengan perasaan kesal dan insaf.
“Ya Alloh, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan WajahMu yang abadi kepadaku”
Wafatnya Robi'atul Adawiyah

Mengenai wafatnya ada dua pendapat yaitu tahun 135 H / 752M atau tahun 185 H / 801 M.Demi agar ia kuat beribadah, Robi'ah senantiasa meletakkan kain kafan persiapan dirinya nanti disebelahnya ketika ia sholat. Ketika tiba saatnya Robi’ah harus meninggalkan dunia fana ini,Ia mengisyaratkan dengan tanganya agar orang-orang keluar,Orang-orang yang sebelumnya menunggui, kini satu demi satu membiarkan robi’ah sendiri.Setelah itu, mereka mendengar suara dari dalam kamar robi'ah,“Yaa nafsul muthmainnah. Irji’i ila robbika”Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar robi’ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Robi’ah telah berpulang.Konon setelah itu ada yang bermimpi melihat Robi'ah, Kepadanya ditanyakan,“Bagaimanakah engkau menghadapi Munkar dan Nakir, wahai Robi'ah ?”Robi’ah menjawab, “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya,”Siapakah Tuhanmu?”.Aku menjawab,”Pergilah kepada Tuhanmu dan katakan kepadaNya,”Di antara beribu-ribu makhluk yang ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas, tidak pernah lupa kepadaMu, tetapi mengapakah Engkau mengirimkan utusan sekedar menanyakan “Siapakah Tuhanmu” kepadaku ?”
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amiin

CHELSEA

Kamis, 14 Februari 2013

Tidur Nabi

Dari Ubay bin ka'ab bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : " Apabila selah seorang kalian pergi ke tempat tidurnya , maka hendaklah mengambil ujung bajunya dan hendaklah mengibaskan ke kasurnya , dan apabila hendak berbaring , maka hendaklah berbaring ke sisi kanannya, dan hendaklah membaca :

" Maha suci engkau wahai tuhanku, dengan nama-Mu aku meletakan lambungku, dan dengan nama-Mu mengangkatnya, jika engkau akan mencabut nyawaku maka ampunilah , dan jika tidak, maka jagalah ia sebagaimana engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih"

Dintara tuntutan beliau bagi setiap muslim dan muslimah :
" Jika engkau akan tidur, maka berwudlulah sebagaimana engkau wudlu untuk sholat kemudian berbaringlah pada sisi kananmu" ( Muttafaq alaih )

 Dari Aisyah r.a berkata :
"Apabila Rasulullah SAW pergi ketempat tidur nya setiap malam, beliau mengumpulkan kedua tangan-nya, lalu meniup padanya dan membacakan padanya : Surat al ikhlas , Surat al falaq , Surat an-naas , kemudian mengusapkan ke badannya mulai dari kepala dan wajahnya, dan badan sebelah depan , beliau melakukannya Tiga kali " ( HR. Bukhari )

Dari Annas Bin Malik ; bahwasanya Rasulullah SAW Apabila pergi ke tempat tidurnya membaca :
" Segala puji bagi allah yang telah memberi kami makan , memberi kami minum dan memberi kami tempat bernaung " ( HR. Muslim )

Dari Abi Qatadah :
" Bahwasanya Nabi apabila singgah di waktu malam untuk istirahat , beliau berbaring pada sisi kanan-nya , dan apabila singgah untuk beristirahat menjelang subuh , beliau memasang lengannya dan meletakan di tapak tanganyya " ( HR. Muslim )

Dari Aisyah r.a Berakata :
" Kasur Rasulullah SAW yang di pakai beliau tidur hanyalah terbuat dari kulit yang berisi sabut " (HR. Muslim )